Imam (ra) Tidak Menganggap Penggunaan Para Arif (mistikus) dan Para Filosof dari Al-Quran sebagai Tafsir Bi Ra’i (sesuai dengan pandangan pribadi)
Ali Akbar Dhiya’i melanjutkan, jika beliau menukilkan ayat-ayat dalam buku irfan dan filsafat, hal itu dalam rangka pembuktian dan asosiasi makna dan beliau tidak menentang penggunaan Al-Quran oleh para arif dan filosof selama hal itu tidak melazimkan pengembanan keyakinan dan selaras dengan dalil-dalil rasional dan naqli, dan tidak menyebutnya sebagai tafsir bi ra’i.
Dhiya’i menegaskan, Imam dalam penggalan-penggalan pembahasan Al-Qurannya membela sebagian takwil-takwil para arif, yang mana takwil semacam ini tidak bisa dikatakan sebagai tafsir, sampai-sampai terkadang hampir menyerupai tafsir bi ra’i. Namun harus menyebutnya seperti terinspirasi dan dikeluarkan dari kelaziman-kelaziman ucapan Ilahi. Aku telah menjelaskan secara mendetail akan masalah ini dalam buku Nehdhate Falsafi Imam Khomeini (ra).
Dia menjelaskan, ucapan Imam dalam hal ini adalah sebagai berikut, “…Penggunaan-penggunaan akhlak, iman dan irfan sama sekali tidak terkait dengan tafsir, sehingga masuk dalam tafsir bi ra’i. Semisal, jika sesorang menggunakan tata cara negosiasi Nabi Musa (As) dengan Khidhir dan tata cara perangai mereka dan penentangan beliau – dengan keagungan derajat kenabian, untuk mendapatkan ilmu yang tidak ada padanya – dan tata cara pemaparan kebutuhannya kepada Khidhir – sampai-sampai diungkapkan dalam Al-Quran “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" dan tata cara jawab Khidhir, dan perminta maaf nabi Musa, kebesaran maqom ilmu, adab dan suluk pelajar dengan guru, yang bisa jadi mencapai 20 adab, apa hubungannya dengan tafsir, sehingga disebut dengan tafsir bi ra’i.? Al-Quran banyak memakai cara semacam ini. Dalam beberapa pengetahuan, misalnya seseorang menggunakan firman Allah “Alhamdu Lillahi Rabbil Ālamīn”, yang mengkhususkan semua pujian dan sanjungan merupakan hak Allah untuk tauhid Af’ali dan mengatakan dari ayat tersebut dapat digunakan bahwa sekala kesempurnaan dan keindahan, dan semua kemuliaan dan keagungan yang ada di semesta bukanlah dari dirinya, dengan demikian pujian dan sanjungan Allah adalah milik Allah dan di situ seseorang tidak ikut berpartisipasi, semuanya ini apa hubungannya dengan tafsir sehingga dinamakan tafsir bi ra’i ataukah bukan. dan lain-lainnya, dimana kelaziman penggunaan sabda tersebut sama sekali tidak terkait dengan tafsir.
Konsultan Kebudayaan Iran di Malaysia dengan mengisyaratkan metode tafsir Imam, khususnya dengan memperhatikan tafsir beliau dari surat al-Hamd, mengatakan, banyak sekali permasalahan-permasalahan yang dapat dikeluarkan dalam tafsir surah al-Hamd, yang berbeda dengan jenis tafsir umumnya dan dapat dikatakan bahwa beliau dalam tafsir ini dengan menjelaskan poin-poin penting ayat, juga menerangkan pandangan-pandangan irfan dan filsafatnya dengan menggunakan ayat-ayat surah al-Hamd, dimana berdasarkan pendapat beliau, penggunakan semacam ini pada dasarnya tidak termasuk dalam ranah tafsir.
Tendensi Penafsiran Imam Khameini (ra) lebih terarah pada Aspek Hidayah dan Pendidikan Ayat-ayat.
Dhiya’i menerangkan, kebanyakan tendensi imam dalam tafsir adalah aspek hidayah dan pendidikan ayat, dan seperti Syaikh Thusi, Allamah Thabathabai dan mufasir Syiah lainnya yang dalam rangka menjelaskan poin-poin ilmiah, sastra dan pendapat pelbagai mufasir dan melakukan penyaringan pada pendapat-pendapat mereka.
Konsultan Kebudayaan Iran di Malaysia melanjutkan, Imam Khomeini (ra) sangat memperhatikan poin-poin sosial ayat dalam pembentukan masyarakat Qurani dan seperti Ibn Arabi dan Qunawi seolah-oleh tidak berbicara yang mana pemahamannya sangat sukar untuk masyarakat umum; demikian juga termasuk kriteria beliau dalam tafsir adalah generalisasi makna-makna irfan dengan mengambil ayat-ayat Al-Quran dan riwayat-riwayat tafsir.
Perealisasian Ajaran-ajaran Al-Quran dalam Semua Aspek Kehidupan
Dia dengan mengisyaratkan aktivitas-aktivitas politik imam dan cara manajemen beliau dalam pemerintahan Republik Islam Iran yang diambil dari Al-Quran dan ajaran-ajarannya, mengatakan, beliau dalam wasiatnya mengatakan sebagai berikut tentang pengeluaran Al-Quran dari kehidupan, politik dan masyarakat, “Semakin miring lembaga ini maju ke depan, maka pembengkokan dan penyelewengan akan semakin bertambah, dengan bertolak bahwa Al-Quran berguna untuk perkembangan masyarakat dunia dan poin penggabungan semua kaum muslimin; bahkan seluruh masyarakat telah jatuh dari kedudukan keesaannya dengan penyingkapan sempurna Muhammad (Saw), yang menghantarkan manusia kepada sesuatu yang harus mereka gapai dan tergapailah serta menyelamatkan ilmu asma dari keburukan setan dan para taghut serta memenuhi dunia dengan keadilan….dimana Al-Quran sebagai penentu hal ini tidak memiliki peran hanya di pekuburan dan majlis-majlis orang mati dan tidak akan ada. Adapun yang seharusnya menjadi sarana penghimpun kaum muslimin, kemanusiaan dan kitab kehidupan mereka, malah menjadi sarana perpecahan dan konflik atau harus dikeluarkan secara keseluruhan dari arena.
Dhiya’i menerangkan, dalam penggalan dari ucapan imam (ra) ini kita melihat bahwa beliau mengganggap Al-Quran sebagai sumber persatuan umat Islam dan kitab kehidupan individu dan sosial manusia dan hal ini dalam wasita Ilahi dan politik imam disebut sebagai manifestasi revolusi Islam dan prospek pemerintahan Islam harus merealisasikan masalah tersebut, yakni perealisasian perintah-perintah Al-Quran dalam semua aspek kehidupan manusia.
Selesai
3365402